Selamat Datang di Official Blogsite of MISPALA Cosmosentris Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare
Salam Lestari...!

Jarak dan waktu bukan lagi alasan untuk dijadikan penghalang, mari kita eratkan tali persaudaraan melalui dunia maya.
Semoga blog ini bisa menjadi media komunikasi, silaturahmi dan dapat membuat MAPALA Se-Indonesia Lebih Kuat dan Eksis

Ada apa dengan sandal?

Sewaktu SMA, saya disuruh membuat surat perjanjian yang ditandatangani orang tua karena menyelimuti tapak kaki dengan sandal. Di salah satu perguruan tinggi  di parepare, saya dihardik dosen karena mengendarai sandal, di kegiatan LKMM kampus dikeluarin –juga- karena sandal.
Ada apa dengan sandal? Mengapa sandal begitu jelek di mata orang. Padahal Julius Caesar pake sandal, Alexander the great hobby menggunakan sandal. Sepertinya para Nabi juga, bersandal dengan suka cita. Dan pernah Ibuku yang mulia menangis, telapak kakinya tertusuk duri, karena tidak memakai sandal. Kenapa sandal yang sudah melindungi kaki para penakluk, penyebar kebenaran dimusuhi sedemikian rupa?
Mengapa oh mengapa kau tega memarjinalkan sandal? Mengapa kau kejam mendiskreditkan sandal?
Haruskah saya mengajukan proposal, kemudian mengeluarkan biasya finansial, serta mengundang Pak Dede Mulkan mengarahkan pergerakan angle kamera demi keberhasilan skenario “Sandal Menggugat”
Musababnya, mungkin ala elebernis –proses illuminasi- pihak yang melakukan pelarangan terhadap pemakaian sandal, menyimpulkan: “pemakaian sandal menandakan pemakainya tidak sopan dan kampungan.” Stop, Pak! Rem dulu Bu! Bukankah orang-orang yang menyalahgunakan BLBI, melipat kas Bulog, Presiden Direktur Freeport yang sejak lama melakukan penghisapan sumber daya alam serta tailingi laut Arafuru, memakai sandal? Tidak, kan? Mereka memakai jas –tidak pakai kaos tanpa kerah, berdasi dan rambutnya pendek –tidak gondrong. (jangan artikan saya menuduh orang yang berjas, berdasi dan rambut yang pendek identik dengan white collar crime).


Pak, Bu! Mengapa pemakaian sandal dikatakan tidak sopan dan kampungan. Sedangkan dosen yang melakukan proses belajar mengajar –ada yang- menggunakan celana jeans. Padahal celana jeans dulunya dianggap tidak sopan, plus kampungan sebab identik dengan kostum panggung penyanyi rock yang urakan. Bahkan anak-anak underground pun, saya pastikan, memakai celana jeans. (Maaf, saya bukan menggugat dosen yang selalu memakai celana jeans. Saya malah mempersilahkan para dosen memakai celana apapun jenisnya asal menutup aurat).


Mengapa ketika melarang penggunaan sandal, dosen wanita tidak konsisten terhadap ucapannya sendiri. Masak!, mahasiswi yang bersandal ria, diperbolehkan melanjurkan ujian dan dosen wanita mereasa ‘legal’ melakukan pegajaran? Padahal sandalnya Cuma ditambah hak. Apakah saya harus memakai sandal dengan hak tinggi mengikuti mahasiswi dan ibu dosen supaya tidak dikeluarkan dalam perkuliahan atau boleh kami mengikuti perkuliahan jika memakai sandal yang bawahnya dipasang hak bambu sepanjang satu meter mirip enggrang?


Saya bukan melakukan justifikasi atas hoby memakai sandal. Saya Cuma ingin mempermasalahkan: Apakah standar yang kita jadikan acuan untuk menilai baik dan buruk? Sudahkan benar? Jika yang dijadikan standara adalah ‘penilaian manusia’ maka pelarangan terhadap sandal dapat dijungkirbalikkan 1001 macam logika. Beda apabila standar perbuatan dinilai dari aturan syariat. Seandainya Allah melarang penggunaan sandal, tentu kita tidak akan memakai sandal. Tapi kenyataannya tidak ada pengharaman terhadap memakai sandal. Kecuali, memakai sandal kotor di dalam masjid, mengotori lantai mengkilap yang memang peghuninya tidak memakai alas kaki di sana. Lagi pula letak dosanya bukan pada pemakaian sandal, tapi karena mengotori lantai yang sudah dibersihkan dengan susah payah. Kalau menghadap Allah dalam shalat, malahan saya buka sandal, kenapa menghadap mahluk ciptaan Allah, saya mesti pake sendal? Yang ada justru pengharaman membuka aurat! Toh nggak ada sampai sekarang yang melarang perkuliahan bila membuka aurat? Atau kenapa tidak ada pelarangan pacaran dan gaul bebas? Malah mereka didukung habis-habisan.


Maksud saya mengkonfrontasikan kedua hal tadi agar Bapak dan Ibu tidak menggunakan proses berfikir induktif, menggeneralisasikan suatu hal. Terlebih mendiskreditkan seseorang karena hello effect. Setelah saya gulirkan pola fikir divergen dan realistis tanpa mengesampingkan proses berfikir evaluatif –melalui tulisan AADS-, apakah Bapak dan Ibu akan bertutur kata seperti ini: “Anda jangan bawa-bawa nama Allah, kita tidak hidup di dalam dunia hitam dan putih. Tapi ada juga dunia kelabu”.
“Lho, pencipta dunia kan Allah, Pak & Bu! Bagaimana mungkin saya hidup di dunia kelabu sedangkan Pencipta menyuruh manusia untuk senantiasa berdiam diri di tempat yang berwarna putih. Kalau Bapak dan Ibu mencipta dunia, maka saran Bapak dan Ibu kepada saya untuk tinggal di tempat kelabu, akan saya turuti.”
“Ah...! Radikal, ekstrim, fundamentalis kamu!”
“Wee, biarin aja! (jangan marah ya!)

Imbauan
Untuk beberapa hari, teman-teman jangan memakai sandal. Karena bisa dituduh sebagai penulis AADS. Saya tidak mau teman-teman dikarantina, diintimidasi, disetrum dan kukunya dicabut, di Guantanamokan.
hidup sandal.!!!!!!!


 
Powered By Landak | Portal Design By STAIN Parepare © 2009 | Top